“URGENSI PEMECAHAN PERKARA PIDANA (SPLITSING) DALAM PROSES PEMBUKTIAN TERJADINYA TINDAK PIDANA”

Jumat, 21 Januari 2011
LP3M Adil Indonesia
“URGENSI PEMECAHAN PERKARA PIDANA (SPLITSING)  DALAM PROSES PEMBUKTIAN TERJADINYA TINDAK PIDANA”

Hukum Acara Pidana di Indonesia
Upaya penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sanksi (hukum) pidana merupakan cara yang paling tua, setua peradaban manusia itu sendiri, bahkan ada yang mengatakan bahwa hukum pidana merupakan the older philosophy of crime control. Sampai saat ini pun, hukum pidana masih digunakan dan “diandalkan” sebagai salah satu sarana politik kriminal.12 Hal tersebut dapat dilihat dari adanya ancaman pidana pada hampir setiap produk perundang-undangan yang dikeluarkan oleh badan legislatif negara ini, meskipun produk perundang-undangan tersebut tidak termasuk dalam perundang-undangan yang tidak mengatur secara spesifik tentang suatu tindak pidana.

Dengan demikian, hukum pidana hampir selalu digunakan untuk “menakut-nakuti” atau mengamankan berbagai kebijakan yang timbul di berbagai bidang terutama dalam menanggulangi kejahatan. Fenomena tersebut memberi kesan seolah-olah suatu peraturan akan kurang sempurna atau “hambar” apabila tidak disertai dengan ketentuan pidana.
Dalam ruang lingkup hukum pidana yang luas, baik hukum pidana substantif (materiil) maupun hukum acara pidana (hukum pidana formal) disebut hukum pidana. Hukum acara pidana berfungsi untuk menjalankan hukum pidana substantif (materiil), sehingga disebut hukum pidana formal atau hukum acara pidana.

Pompe merumuskan hukum pidana (materiil) sebagai keseluruhan peraturan hukum yang menunjukkan perbuatan mana yang seharusnya dikenakan pidana dan di mana pidana itu seharusnya menjelma. Sedangkan hukum acara pidana tersebut mengatur tentang bagaimana negara melalui alat-alat (lembaga-lembaga) melaksanakan haknya untuk memidana dan menjatuhkan pidana.14

Wirjono Projodikoro mengemukakan bahwa hukum acara pidana berhubungan erat dengan adanya hukum pidana, sehingga merupakan suatu rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana badan-badan pemerintah yang berkuasa, yaitu Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan harus bertindak guna mencapai tujuan negara dengan mengadakan hukum pidana.

Di Indonesia, ketentuan acara pidana diatur dalam Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang kita kenal dengan KUHAP disahkan pada tanggal 31 Desember 1981 dalam Lembaran Negara 1981 Nomor 76, TLN Nomor 3209. Sebagai induk hukum acara pidana di Indonesia, KUHAP berfungsi untuk menjalankan hukum pidana substantif (materiil), sehingga disebut hukum pidana formal atau hukum acara pidana.16 Artinya proses penanganan perkara tindak pidana yang diatur dalam perundang-undangan pidana di Indonesia, mulai dari penyidikan, penuntutan sampai dengan eksekusi, haruslah mengacu kepada KUHAP, sepanjang di dalam perundangan tersebut tidak mengatur tentang acara pidana. Apabila dalam suatu perundang-undangan pidana sebagai suatu hukum pidana materiil di dalamnya juga mengatur tentang hukum acara pidana yang menyimpang dari KUHAP, maka hukum acara pidana di dalam undang undang itulah yang digunakan. Hal tersebut sesuai dengan asas Lex specialis derogat legi generali atau ketentuan yang khusus mengalahkan ketentuan yang umum.


Dengan terciptanya KUHAP, maka untuk pertama kalinya di Indonesia diadakan kodifikasi dan unifikasi yang lengkap dalam arti meliputi seluruh proses pidana dari awal sampai pada kasasi di Mahkamah Agung, bahkan sampai meliputi Peninjauan Kembali
 Pada prinsipnya, terdapat 10 asas yang menjadi acuan kebenaran atau ajaran dari kaidah-kaidah dalam KUHAP, yaitu :

  1. Asas equality before the law, yaitu perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum.
  2. Asas legalitas dalam upaya paksa, yaitu penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan hanya dilakukan berdasarkan perintah tertulis oleh pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang dan hanya dalam hal dan dengan cara yang diatur dengan undang-undang;
  3. Asas presumption of innocence, yaitu setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan/atau dihadapkan di muka pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.
  4. Asas remedy and rehabilitation, yaitu terhadap seseorang yang ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang dan/atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diberikan, wajib diberi ganti kerugian dan rehabilitasi sejak tingkat penyidikan dan para pejabat penegak hukum yang dengan sengaja atau karena kelalaiannya menyebabkan asas hukum tersebut dilanggar, dituntut, dipidana dan atau dikenakan hukuman administrasi.
  5. Asas fair, impartial, impersonal, and objective, yaitu peradilan harus dilakukan dengan cepat, sederhana dan biaya ringan serta bebas, jujur dan tidak memihak harus diterapkan secara konsekuen dalam seluruh tingkat peradilan.
  6. Asas legal assistance, yaitu setiap orang tersangkut perkara wajib diberi kesempatan memperoleh bantuan hukum yang semata-mata diberikan untuk melaksanakan kepentingan pembelaan atas dirinya.
  7.  Miranda Rule, yaitu kepada seorang tersangka sejak dilakukan penangkapan dan atau penahanan selain wajib diberitahu dakwaan dan dasar hukum apa yang didakwakan kepadanya, juga wajib diberitahu haknya termasuk hak untuk menghubungi dan meminta bantuan penasehat hukumnya.
  8. Asas presentasi, yaitu pengadilan memeriksa perkara pidana dengan hadirnya terdakwa.
  9. Asas keterbukaan, sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum kecuali dalam hal yang diatur dalam undang-undang.
  10. Asas pengawasan, yaitu pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara pidana dilakukan oleh ketua pengadilan negeri yang bersangkutan.

 Kesepuluh asas tersebut dalam praktiknya tidak terlepas dari desain prosedur (procedural design) sistem peradilan pidana yang terdapat dalam KUHAP.
Sistem Peradilan Pidana yang digariskan oleh KUHAP tersebut merupakan ”sistem terpadu” (integrated criminal justice system). Sistem terpadu tersebut diletakkan di atas landasan prinsip ”diferensiasi fungsional” di antara aparat penegak hukum kepada masing-masing penegak hukum.20

Prinsip diferensiasi fungsional adalah penegasan pembagian tugas wewenang antara jajaran aparat penegak hukum secara instansional. KUHAP meletakkan suatu asas ”penjernihan” (clarification) dan ”modifikasi” (modification) fungsi dan wewenang antara setiap instansi penegak hukum. Penjernihan pengelompokan tersebut, diatur sedemikian rupa sehingga tetap terbina saling korelasi dan koordinasi dalam proses penegakan hukum yang saling berkaitan dan berkelanjutan antara satu instansi dengan instansi yang lain, sampai ke taraf proses pelaksanaan eksekusi dan pengawasan pengamatan pelaksanaan eksekusi. Mulai dari taraf dan permulaan penyidikan oleh kepolisian sampai kepada pelaksanaan putusan pengadilan oleh Kejaksaan, selalu terjalin atas hubungan fungsi yang berkelanjutan yang akan menciptakan suatu mekanisme saling cek di antara sesama penegak hukum dalam suatu rangkaian integrated criminal justice system. Penjernihan diferensiasi fungsi dan wewenang tersebut pada akhirnya menciptakan pemisahan wewenang yang tegas dalam proses peradilan pidana, yaitu :
  1. Kepolisian dalam hal penyidikan ;
  2. Kejaksaan dalam hal penuntutan dan pelaksanaan putusan pengadilan ;
  3. Pengadilan dalam hal pemeriksaan dan putusan pidana ;
  4. Lembaga Pemasyarakatan dalam hal pembinaan dan pemasyarakatan terpidana.

Proses Peradilan Pidana di Indonesia
Dalam melakukan suatu penanganan perkara pidana, terdapat sebuah rangkaian peradilan pidana yang terbagi atas beberapa tahap. Dalam KUHAP, tahap-tahap penanganan perkara tersebut terdiri dari Penyelidikan, Penyidikan, Penuntutan, Pemeriksaan di Persidangan, Putusan Hakim (Vonis), Upaya Hukum dan diakhiri dengan pelaksanaan putusan.

Sesuai dengan Pasal 1 butir 5 KUHAP, yang dimaksud dengan Penyelidikan adalah ”serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.” Dengan demikian, penyelidikan adalah tindakan yang mendahului penyidikan, dan merupakan tahap pertama dalam hukum acara pidana yang bertujuan mencari kebenaran.

Sedangkan dalam Pasal 1 butir 2 KUHAP diterangkan bahwa Penyidikan adalah “serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.”

Secara etimologis istilah “penyidikan” merupakan persamaan kata opsporing dalam Bahasa Belanda atau investigation dalam bahasa Inggris.

Penyidikan berasal dari kata “sidik’ dan menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia berarti penyelidikan untuk mengetahui dan membedakan orang. Sedangkan menyidik berarti memeriksa, menyelidiki, mengamati

Istilah penyidikan pertama kali digunakan sebagai istilah hukum sejak tahun 1961 seiring dengan terbitnya Undang Undang Nomor 13 Tahun 1961 tentang Ketentuan Ketentuan Pokok Kepolisian Negara. Namun dalam undang-undang tersebut tidak diatur pengertian tentang istilah ”penyidikan” dan hanya diatur tentang wewenang POLRI dalam tahap penyidikan.23 Adapun yang dapat disebut sebagai ”Penyidik” diatur dalam Pasal 1 angka 1 KUHAP yang berbunyi :

”Penyidik adalah pejabat polisi Negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.”

Dengan demikian, secara umum yang diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan suatu tindak pidana adalah Kepolisian Republik Indonesia (POLRI), namun untuk tindak pidana tertentu ada juga lembaga lain yang diberi kewenangan oleh undang-undang tertentu untuk melakukan penyidikan. Hal tersebut dipertegas dalam Pasal 6 KUHAP yang menyebutkan dua macam pejabat yang diserahi wewenang penyidikan yaitu :
  1. Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia dan
  2. Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang.

 Selanjutnya pengertian tentang ”Penuntutan” diatur dalam Pasal 1 angka 7 KUHAP yaitu
 ”Tindakan Penuntut Umum untuk melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.”

Dalam hal melaksanakan kekuasaan negara dalam bidang penuntutan, maka berdasarkan Ketentuan Umum KUHAP Pasal 1 angka 6 dijelaskan sebagai berikut :
Pasal 1 angka 6
  1. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
  2. Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.

Oleh karena itu, selain menjalankan penuntutan, Kejaksaan juga mempunyai wewenang
Melaksanakan putusan melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan melaksanakan penetapan hakim.

Kemudian dalam Pasal 1 angka 9 KUHAP ditentukan bahwa yang dimaksud dengan mengadili adalahSrangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang undang ini.

Adapun putusan Hakim dalam suatu perkara pidana dapat berupa hal-hal sebagai berikut :

  1. Pemidanaan, apabila pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya. Hal tersebut diatur dalam Pasal 193 ayat (1) KUHAP.
  2. Bebas atau vrijspraak, apabila pengadilan berpendapat bahwa kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan. Hal tersebut diatur dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP.
  3. Lepas dari Segala Tuntutan Hukum atau onslag van alle rechtsvervolging, apabila pengadilan berpendapat bahwa kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan suatu perbuatan pidana. Hal tersebut diatur dalam Pasal 191 ayat (2) KUHAP.

Selanjutnya, apabila Penuntut Umum ataupun terdakwa merasa tidak sependapat dengan putusan Hakim, maka dapat dilakukan upaya hukum yang yang terdiri dari :
  1. Upaya hukum biasa yaitu Banding dan Kasasi ;
  2. Upaya hukum Luar Biasa yaitu Kasasi Demi Kepentingan Hukum dan Peninjauan Kembali;
  3. Upaya hukum konstitusional yaitu amnesty, abolisi, grasi dan rehabilitasi.

Kemudian setelah suatu perkara pidana telah mendapatkan kekuatan hukum yang tetap (inkracht van gewisjde), dilakukan pelaksanaan putusan pidana atau eksekusi yang merupakan Tanggung Jawab Jaksa (Pasal 270 jo Pasal 1 butir 6a KUHAP) dan bertindak berdasarkan hukum dan mengindahkan norma-norma keagamaan dan kesusilaan serta wajib menggali nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Pemecahan Perkara (Splitsing) dan Keberadaan Saksi Mahkota

Sebagaimana dijelaskan diatas bahwa dalam Pasal 184 KUHAP terdapat lima alat bukti yang sah untuk dijadikan dasar terhadap pembuktian adanya suatu tindak pidana. Berkaitan dengan hal tersebut, alat bukti yang paling paling mudah dan paling sering dipergunakan adalah Keterangan Saksi. Dalam prakteknya, hampir semua pembuktian perkara pidana membutuhkan alat bukti berupa keterangan saksi dan pada umumnya alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama dalam perkara pidana. Boleh dikatakan, tidak ada perkara pidana yang luput dari pembuktian alat bukti keterangan saksi. Hampir semua pembuktian perkara pidana, selalu bersandar kepada pemeriksaan keterangan

Saksi. Sekurang-kurangnya disamping pembuktian dengan alat bukti yang lain, masih selalu diperlukan pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi.25 Akan tetapi tidak semua keterangan saksi memiliki nilai dan kekuatan sebagai alat bukti. Misalnya saja keterangan saksi di luar apa yang didengar, dilihat atau dialaminya sendiri. Selain itu, keterangan saksi yang diperoleh dari pendengaran orang lain (testimonium de auditu) juga tidak mempunyai kekuatan pembuktian. Begitu pula opini atau rekaan yang diperoleh dari hasil pemikiran saksi yang bersangkutan. Keterangan saksi demikian tidak bisa dijadikan sebagai alat bukti di persidangan.


Kemudian sesuai dengan Pasal 185 ayat (2) KUHAP, maka keterangan seorang saksi saja, belum dapat dianggap sebagai alat bukti yang cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Hal tersebut dikenal dengan ungkapan Unus Tetis Nullus Tetis (satu saksi bukan saksi).Artinya, jika alat bukti yang tersedia hanya terdiri dari seorang saksi saja tanpa ditambah dengan keterangan saksi yang lain atau alat bukti yang lain, maka “kesaksian tunggal” tersebut tidak dapat dinilai sebagai alat bukti yang cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa.

Permasalahan yang muncul di dalam praktek penanganan perkara, adalah terdapat dugaan terjadinya tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa pelaku, namun tidak ada saksi yang secara langsung melihat dan mendengar saat tindak pidana tersebut dilakukan, sehingga yang paling mengetahui tentang peristiwa tersebut adalah para pelaku sendiri. Dalam hal inilah, diperlukan upaya pembuktian dengan jalan melakukan pemecahan perkara supaya terdapat alat bukti Keterangan Saksi dan mempunyai kekuatan pembuktian sebagaimana ditentukan dalam Pasal 185 ayat (2) diatas, sehingga pelaku yang satu dapat menjadi saksi terhadap pelaku lain.
Dalam Pasal 142 KUHAP dikatakan :
“Dalam hal Penuntut Umum menerima satu berkas perkara yang memuat beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa orang tersangka yang tidak termasuk dalam ketentuan Pasal 141, Penuntut Umum dapat melakukan penuntutan terhadap masing-masing terdakwa secara terpisah.”

Dengan demikian, Pasal 142 KUHAP memberikan kewenangan kepada Penuntut Umum untuk melakukan “pemecahan berkas perkara” dari satu berkas perkara menjadi beberapa berkas perkara. Pemecahan berkas perkara inilah yang disebut dengan splitsing, yaitu memecah satu berkas perkara menjadi dua atau lebih atau a split trial.

Pada dasarnya, pemecahan berkas perkara terjadi disebabkan faktor pelaku tindak pidana yang terdiri dari beberapa orang. Apabila terdakwa terdiri dari beberapa orang, Penuntut Umum dapat menempuh cara untuk memecah berkas perkara menjadi beberapa berkas perkara sesuai dengan jumlah terdakwa, sehingga :
  1. Berkas yang semula diterima Penuntut Umum dari Penyidik, dipecah menjadi dua atau beberapa berkas perkara;
  2. Pemecahan dilakukan apabila yang menjadi terdakwa dalam perkara tersebut, terdiri dari beberapa orang. Dengan pemecahan berkas dimaksud, masing-masing terdakwa didakwa dalam satu surat dakwaan yang berdiri sendiri antara yang satu dengan yang lain;
  3. Pemeriksaan perkara dalam pemecahan berkas perkara, tidak lagi dilakukan bersamaan dengan suatu persidangan. Masing-masing terdakwa diperiksa dalam persidangan yang berbeda;
  4. Pada umumnya, pemecahan berkas perkara menjadi penting, apabila dalam perkara tersebut kurang bukti dan kesaksian.

Dengan pemecahan berkas perkara menjadi beberapa perkara yang berdiri sendiri, antara seorang terdakwa dengan terdakwa yang lain, masing-masing dapat dijadikan sebagai saksi secara timbal balik. Sedang apabila mereka digabung dalam suatu berkas dan pemeriksaan persidangan, antara yang satu dengan yang lain tidak dapat saling dijadikan menjadi saksi yang timbal balik. Dalam hal inilah, muncul istilah “saksi mahkota” sebagai alat bukti dalam perkara pidana. Walaupun dalam KUHAP tidak ada definisi otentik mengenai ’saksi mahkota’ (kroon getuide) namun dalam praktiknya keberadaan saksi mahkota tersebut ada dan diakui.

Saksi mahkota adalah teman terdakwa yang melakukan tindak pidana bersama-sama diajukan sebagai saksi untuk membuktikan dakwaan Penuntut Umum, yang perkara diantaranya dipisahkan karena kurangnya alat bukti. (Putusan Mahkamah Agung RI No. 1986 K/Pid/1989)

Dengan kata lain Saksi mahkota disini adalah saksi yang diperlukan untuk pembuktian dalam sidang di pengadilan untuk dua perkara atau lebih, yang saling bergantian dalam perkara yang satu sebagai terdakwa dan dalam perkara yang lain jadi saksi, demikian secara timbal balik. Penggunaan alat bukti saksi mahkota tersebut hanya dapat dilakukan dalam perkara pidana yang berbentuk penyertaan, dan terhadap perkara pidana tersebut telah dilakukan pemisahan (splitsing) yang didasarkan pada alasan karena kurangnya alat bukti yang akan diajukan oleh penuntut umum.

Pada awalnya, pengaturan mengenai saksi mahkota hanya diatur dalam ketentuan Pasal 168 huruf (c) KUHAP, yang pada pokoknya menjelaskan bahwa pihak yang bersama-sama sebagai terdakwa tidak dapat didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi. Selanjutnya, dalam perkembangannya, maka rekognisi tentang saksi mahkota sebagai alat bukti dalam perkara pidana diatur dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1986 K/Pid/1989 tanggal 21 Maret 1990.(Varia Peradilan Nomor 62, Nopember 1990, hal. 19-44. )

Dalam yurisprudensi nomor 1986 K/Pid/1989 tanggal 21 Maret 1990 tersebut dijelaskan bahwa Mahkamah Agung tidak melarang apabila jaksa penuntut umum mengajukan saksi mahkota di persidangan dengan syarat bahwa saksi ini dalam kedudukannya sebagai terdakwa tidak termasuk dalam satu berkas perkara dengan terdakwa yang diberikan kesaksian. Selain itu, dalam yurisprudensi tersebut juga telah diberikan suatu definisi tentang saksi mahkota yaitu teman terdakwa yang melakukan tindak pidana bersama-sama diajukan sebagai saksi untuk membuktikan dakwaan penuntut umum, yang perkara
diantaranya dipisah karena kurangnya alat bukti.

Berdasarkan hal tersebut, maka pengajuan saksi mahkota sebagai alat bukti dalam perkara pidana didasarkan pada kondisi-kondisi tertentu, yaitu dalam hal adanya perbuatan pidana dalam bentuk penyertaan dan terhadap perbuatan pidana bentuk penyertaan tersebut diperiksa dengan mekanisme pemisahan (splitsing), serta apabila dalam perkara pidana bentuk penyertaan tersebut masih terdapat kekurangan alat bukti, khususnya keterangan saksi. Hal ini tentunya bertujuan agar terdakwa tidak terbebas dari pertanggungjawabannya sebagai pelaku perbuatan pidana. 


 ARTIKEL YANG TERKAIT :
  1. Pengaturan Spiltsing Didalam Hukum Pidana
  2. Antara Penyidik dan JPU Dalam Proses Perkara
  3. Tentang Metode Penelitian
  4. JPU Sebagai Pihak Yang Mempunyai Beban Pembuktian
  5. Proses Hukum di Indonesia
  6. Keterbukaan Informasi Di Pengadilan
  7. POLISI Dilarang Melakukan Penganiayaan
  8. Penerapan Undang-Undang Pornografi
  9. Pemberdayaan Untuk Masyarakat Madani
  10. Transformasi Politik
  11. Hak Asasi Manusia
  12. Hukum Pinjam Meminjam
KEMBALI KE HALAMAN UTAMA

0 komentar:

Posting Komentar