Pembangunan / Pemberdayaan / Transformasi Politik/ LP3M ADIL INDONESIA

Jumat, 21 Januari 2011
POLITIK
Pembangunan Politik, Pemberdayaan Politik
dan Transformasi Politik

Sebuah negeri bisa menciptakandemokrasi politik dalam tempo enam bulan,dan bisa membangun ekonomi pasar selama 6 tahun.Tetapi tumbuhnya masyarakat sipil yang kuatdi Eropa Timur butuh waktu 60 tahun
.(Ralf Dahrendorf).


 “Pembangunan Politik, Pemberdayaan Politik dan Transformasi Politik”, untuk memperlihatkan sebuah perubahan paradigmatik para ilmuwan politik dalam mengkaji perubahan (transformasi) politik. Pembangunan politik, konon, adalah percikan liberal para ilmuwan politik Barat yang dimaksudkan untuk merekayasa sebuah bangunan politik dan mengelola perubahan politik di negara-negara Dunia Ketiga. Pembangunan politik yang diterapkan pada tahun 1960-an terbukti telah gagal karena tidak mampu mengantisipasi perubahan yang terjadi sejak dekade 1970-an, yaitu munculnya otoritarinisme yang dipandegani militer—yang malah diyakini sebagai pilar utama pembangunan ekonomi (pendalaman kapitalisme). Kritik dan gerakan melawan pembangunan politik model Barat dan perubahan politik di Dunia Ketiga terus berlangsung, yang mengilhami semangat “pemberdayaan politik” untuk mengelola transformasi politik yang lebih humanistik dan berpusat pada masyarakat ketimbang negara. Untuk mengawali tulisan ini saya hendak mengatakan bahwa pemberdayaan politik bukan sekadar konsep yang diperdebatkan dalam arena ilmu politik, tetapi sebagai sebuah “gerakan” kritis dan emansipatoris yang berpusat pada civil society, untuk mewujudkan visi “politik transformatif”


Sungguh aneh bila pemberdayaan diucapkan, diagendakan dan dikendalikan oleh tangan-tangan negara, sebab kekuatan inilah yang menyebabkan masyarakat menjadi powerless.

Gerakan Pemberdayaan
Pemberdayaan merupakan sebuah gerakan perlawanan pembangunan alternatif terhadap hegemoni developmentalisme (teori modernisasi). Sejak tiga dekade silam, para ahli pembangunan berhaluan kritis telah melontarkan pertanyaan besar, mengapa terjadi kemiskinan di tengah-tengah gencarnya proyek-proyek pembangunan? Dudley Seers (1969), misalnya, menilai pertanyaan kritis itu telah mengundang upaya serius memikirkan kembali doktrin-doktrin pembangunan. Konon tumbuh ortodoksi yang kuat bahwa merajalelanya kemiskinan di Dunia Ketiga disebabkan karena gagalnya model pembangunan ekonomi yang sangat dipengaruhi oleh teori modernisasi atau doktrin developmentalisme.

Pembangunan Politik
Dalam konteks ilmu politik, pemberdayaan politik bisa dilacak dari konsep pembangunan politik yang mulai dikembangkan sejak akhir dekade 1950-an. Setidaknya ada dua peristiwa besar yang mendorong munculnya studi pembangunan politik. Pertama, lahirnya negara-negara baru Dunia Ketiga pasca Perang Dunia II terutama di Asia, Afrika, dan Amerika Selatan, yang tentu saja menjadi tantangan baru bagi ilmuwan untuk melakukan kajian politik di wilayah itu, misalnya mengkaji tentang perubahan politik atau penerapan sistem politik beserta infrastruktur yang menopangnya. Kedua, berkembangnya studi area dan revolusi behavioralisme dalam ilmu politik, yang ditandai dengan upaya serius para ilmuwan politik untuk mengkombinasikan kecermatan teoretik dan metodologi untuk melakukan penelitian empirik lintas-nasional yang bisa menghasilkan generalisasi universal dan komparatif.

Partai dan sistem kepartaian yang menggabungkan mobilisasi dan organisasi dapat melaksanakan modernisasi politik menuju demokrasi secara damai

Untuk melengkapi pandangannya tentang institusionalisasi dalam pembangunan politik, Huntington mengemukakan empat indikator utama yang harus diperhatikan.
  1. Pertama, penyesuaian-kekakuan (adaptability-regidity). Menurut Huntington, suatu organisasi dan prosedur yang mudah beradaptasi, maka semakin tinggi tingkat institusionalisasinya; sementara organisasi yang tak dapat beradaptasi dan makin kaku maka makin rendah tingkat institusionalisasinya. Makin banyak tantangan yang timbul dalam lingkungannya serta makin tua umurnya, makin mudah organisasi itu beradaptasi. Kekakuan lebih merupakan cirikhas organisasi baru ketimbang organisasi yang lama.
  2. Kedua, kerumitan-kesederhanaan (complexcity-simplicity). Makin rumit organisasi, makin tinggi kelembagaannya. Sistem politik tradisional yang relatif primitif dan sederhana biasanya hancur dalam proses modernisasi. Sistem-sistem tradisional yang lebih kompleks mungkin menyesuaikan diri dengan tuntutan-tuntutan baru. Kerumitan menghasilkan stabilitas.
  3. Ketiga, otonomi-subordinasi (autonomy-subordination). Ukuran institusionalisasi ketiga adalah sejauh mana organisasi-organisasi dan prosedur-prosedur politik bebas (mandiri) diri pengaruh pengelompokan-pengelompokan sosial dan cara-cara perilaku sosial lainnya, termasuk sejauh mana lingkungan politik dibedakan dari lingkungan-lingkungan lainnya? Dalam sistem politik yang modern, organisasi-organisasi politik punya suatu integritas tegas, yang tidak dimiliki oleh organisasi-organisasi politik di dalam sistem-sistem yang kurang maju. Mereka bebas dari pengaruh kelompok dan prosedur-prosedur nonpolitis lainnya. Dalam sistem yang kurang berkembang organisasi-organisasi politik itu mudah dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan nonpolitik. Institusionalisasi politik, dalam artian kebebasan (otonomi), berarti perkembangan organisasi-organisasi dan prosedur-prosedur politik yang bukan sekadar menjadi terompet kepentingan kelompok-kelompok sosial tertentu.
  4. Keempat, keutuhan-perpecahan (coherence-disunity). Makin bersatu dan utuh suatu organisasi, maka makin tinggi tingkat pelembagaannya; makin besar perpecahannya makin rendah tingkat pelembagaannya. Tindakan-tindakan konsensus tentu merupakan syarat bagi kelompok sosial manapun. Suatu organisasi yang efektif paling tidak menuntut adanya konsensus mengenai batas-batas fungsional kelompok itu serta prosedur-prosedur untuk menyelesaikan sejumlah pertikaian tentang pokok-pokok masalah yang muncul di dalam batas-batas itu.

Perubahan Haluan
Memasuki dekade 1990-an, para ilmuwan politik mulai melakukan perubahan haluan dari state centric ke society centric, dari isu government ke isu governance dan dari politik tradisional ke politik transformatif. Teori-teori yang bersifat preskriptif mulai mereka kembangkan, misalnya demokratisasi, konsolidasi, institusionalisasi baru, pemberdayaan masyarakat sipil, dan lain-lain. Perubahan haluan ini setidaknya didorongoleh dua hal.
  1. Pertama, berkembangnya gerakan dan perubahan politik yang mengarah ke kondisi positif, yaitu meluasnya demokratisasi di belahan dunia. Para ahli perbandingan politik tidak hanya mengembangkan teori-teori eksplanatif yang menjelaskan gelombang demokratisasi, tetapi juga mengembangkan teori-teori preskriptif yang sangat bervariasi untuk membangun demokrasi yang lebih kokoh di negara-negara demokrasi baru.
  2.  Kedua, pengaruh dari perkembangan baru dalam sosiologi seperti munculnya teori-teori kritis, postmodernisme, poststrukturalisme, feminisme dan lain-lain. Munculnya teori-teori ini antara lain sebagai bentuk kritik keras terhadap bias-bias etnosentris Barat dan kesepihakan yang inheren dalam wacana dan praksis modernisasi sebagai hasil utama proyek Pencerahan.

Dari negara ke masyarakat

Jika dekade 1980-an mengembangkan semangat “membawa negara pada posisi semula”, maka pada tahun 1990-an berubah menjadi “membawa masyarakat ke posisi semula”, atau yang lebih tepat adalah “membawa negara lebih dekat ke rakyat” (bringing the state closer to the people). WORLD DEVELOPMENT REPORT (1997) termasuk pengusung gagasan baru itu, yang di dalamnya terkandung beberapa semangat. Pertama, memadukan peranan dan kapasitas negara dalam melakukan dan promosi aksi kolektif dalam proses pembangunan politik, transformasi ekonomi dan redistribusi sosial, misalnya dalam konteks pemeliharaan law and order, kesehatan dan pendidikan publik, infrastruktur dasar, dan lain-lain, sesuai dengan tuntutan masyarakat. Kedua, perlunya membangkitkan kapasitas negara lewat penguatan institusi publik. Strategi ini mencakup desain peraturan yang efektif, kontrol terhadap penggunaan sarana pemaksa, pemberantasan korupsi, peningkatan kinerja institusi-institusi birokrasi negara, perbaikan gaji pegawai, penguatan lembaga peradilan, profesionalisme aparat kemanan, dan lain-lain. Ketiga, memadukan antara kapasitas negara, desentralisasi dan partisipasi masyarakat.

Dari government ke governance
Memasuki dekade 1990-an terdapat perubahan istilah dan semangat dari government ke governance. Kelihatannya ini hanya perubahan istilah, tetapi secara substantif mengandung perubahan paradigmatik yang mempunyai implikasi empirik yang luar biasa. Governance adalah istilah baru. Dulu ilmu politik hanya mengenalistilah government (pemerintah), sebagai badan-badan yang menjalankan pemerintahan. Sebelum tahun 1990-an, ilmu politik banyak mencurahkan perhatian pada beberapa persoalan, bagaimana pemerintah dibentuk dan berubah, bagaimana pemerintah memerintah atas rakyatnya, bagaimana menjalankan kewenangan sampai mengambil keputusan. Secara empirik, pemerintah (lama) itu sangat identik dengan kekuasaan, penguasaan, kewenangan, dominasi, pemaksaan, pemusatan, dll. Pemerintah dipahami sebagai institusi raksasa yang menggunakan kewenangannya secara memaksa atas seluruh wilayah dan penduduk , serta mengontrol pengaruh internasional atas kebijakan domestik dan institusinya. Pemerintah adalah segala-galanya (omnipotent) dan mahakuasa yang secara langsung dirasakan oleh masyarakat.

Munculnya istilah governance sekarang mendorong para ilmuwan politik untuk tidak sekadar memperhatikan pemerintah sebagai lembaga, melainkan juga pemerintahan sebagai proses multiarah, yaitu proses memerintah yang melibatkan pemerintah dengan unsur-unsur di luar pemerintah. Governance adalah bentuk interaksi antara negara dan masyarakat sipil. Dalam kamus Bahasa Inggris-Indonesia tampaknya tidak dijumpai sama sekali konsep governance. Kamus Webster juga tidak membantu banyak, yang menyebutkan bahwa governance merupakan sinonim dengan government (pemerintah), yang berarti tindakan atau proses memerintah, terutama perintah dan kontrol pemegang kekusaan. Interpretasi ini merujuk pada tindakan dan fungsi cabang-cabang eksekutif dan sebuah pertanyaan: bagaimana pemerintahan bisa berjalan secara efektif?

Dari politik tradisional ke politik transformatif
Paralel dengan semangat membawa negara lebih dekat ke rakyat dan perubahan paradigma dari government ke governance, muncullah gerakan yang hendak merubah pandangan politik tradisional ke “politik transformatif”. Term “politik transformatif” sebagai sebuah pandangan baru memang tidak populer dalam belantara ilmu politik. Sejumlah literatur mainstream ilmu politik (seperti The New Handbook of Political Science; Political Science: The State of the Discipline; Handbook of Governance and Politics; Encyclopaedia of Democracy, dll) tidak menampilkan secara eksplisit konsep “politik transformatif”, bahkan termasuk political empowerment. Istilah “politik transformatif” baru berada dalam literatur “pinggiran” ilmu politik, tetapi ia menjadi pandangan baru yang digerakkan melalui aksi-aksi konkret oleh kalangan aktivis politik, kaum feminis, dan NGO.

Agenda Pemberdayaan Politik
Pemberdayaan politik tentu saja mempunyai dimensi yang sangat luas. Tetapi dalam konteks ini, pemberdayaan saya tempatkan dalam kerangka relasi antara negara dan masyarakat. Melalui kerangka ini, paling tidak, ada empat agenda besar pemberdayaan politik masyarakat, yang akan diuraikan di bawah.

1.     Demokratisasi
Demokratisasi adalah perubahan politik dari rezim otoritarian ke rezim demokratis, dan sekaligus sebagai tindakan atau gerakan bersama membangun demokrasi. Dalam konteks ini, pemberdayaan politik sangat terkait dengan demokratisasi sebagai sebuah gerakan atau tindakan membangun demokrasi. Yaitu melembagakan demokrasi prosedural (kelembagaan dan aturan main) dan membangun demokrasi substantif baik budaya demokrasi (civic culture) maupun civil society sebagai sebuah idea. Demokrasi prosedural terkait dengan hubungan antara legislatif, esekutif dan yudikatif; pola-pola penyelesaian ekstraparlementer; pemilihan umum, kepartaian, mekanisme pembuatan kebijakan, konstitusi dan lain-lain. Demokrasi substantif terkait dengan sikap dan perilaku demokrasi seperti toleransi, kebersamaan, partisipasi, kompetensi, civic engagement, solidaritas, trust, keterbukaan, kemitraan, antidiskriminasi, dll.

2.      Desentralisasi dan Otonomi

Demokratisasi dan desentralisasi merupakan dua sisi dalam sebuah mata uang, yang bersandar pada pinsip pembagian kekuasaan yang ujungnya adalah kedaulatan rakyat. Demokratisasi dan desentralisasi juga terkait dengan semangat membawa negara lebih dekat ke rakyat. Di satu sisi demokratisasi mengharuskan desentralisasi, yaitu devolusi kekuasaan dari pemerintah pusat ke pemerintah lokal (daerah sampai desa), dari negara ke masyarakat. Desentralisasi mengharuskan pengurangan peran dan intervensi negara ke masyarakat lokal, serta pelibatan secara luas partisipasi masyarakat dalam urusan publik. Desentralisasi yang menghasilkan otonomi (daerah dan desa), memungkinkan masyarakat lokal mengelola pemerintahan sendiri (self-governing), membuat keputusan, mengelola sumberdaya lokal serta menyelesaikan persoalan lokal secara mandiri. Di sisi lain, otonomi (daerah dan desa) harus didukung demokrasi lokal yang kuat, sebab otonomi tanpa demokrasi hanya akan menimbulkan pemindahan sentralisasi maupun korupsi dari pemerintah pusat ke pemerintah lokal. Demokrasi di tingkat lokal, dengan demikian, menuntut transparansi dan akuntabilitas pemerintah lokal, partisipasi masyarakat dan kontrol masyarakat terhadap pemerintah.

  1. Pemerintahan yang Baik
Paralel dengan pergeseran pandangan dari pemerintah (government) menuju kepemerintahan (governance), memasuki dekade 1980-an muncul gagasan baru neo-liberal yang populer disebut pemerintahan yang baik (good governance, GG). Konsep good governance menjadi sangat populer digunakan oleh badan-badan donor internasional, yang sekarang diakui sebagai manifesto politik baru. Bank Dunia, misalnya, sangat percaya bahwa di negara-negara Dunia Ketiga, perilaku perburuan rente maupun korupsi kalangan elite justru dibanjiri oleh aliran utang luar negeri, yang menyebabkan memburuknya efektivitas pemerintahan. Analisis Bank Dunia kemudian menekankan pentingnya program governance, yang di dalamnya mencakup kebutuhan akan kepastian hukum, pers yang bebas, penghormatan pada HAM, dan keterlibatan warga negara dalam organisasi-organisasi sukarela. Menurut Lancester (1990), program governance itu memusatkan perhatian pada reduksi besaran organisasi birokrasi pemerintah; privatisasi badan-badan milik negara; dan perbaikan administrasi bantuan keuangan.
  1. Kewarganegaraan (Citizenship)
Kewarganegaraan merupakan sebuah kata kunci dalam konteks kenegaraan (stateness) maupun pemikiran dan praktik demokrasi. Secara ideal, warga negara adalah individu sebagai pribadi yang utuh sebagai anggota komunitas politik demokratis.

0 komentar:

Posting Komentar